Konsep ‘Smart City’ atau Kota Cerdas telah menjadi visi pembangunan yang diadopsi oleh banyak kota besar di Indonesia. Idenya adalah menggunakan teknologi, data, dan sensor untuk meningkatkan kualitas layanan publik—mulai dari manajemen lalu lintas, pengelolaan sampah, hingga layanan administrasi kependudukan.
Di atas kertas, manfaatnya sangat besar. Lampu jalan yang mati bisa melapor otomatis, aplikasi pengaduan warga mempercepat respons birokrasi, dan data lalu lintas real-time membantu mengurai kemacetan. Ini adalah janji sebuah kota yang lebih efisien, responsif, dan hemat sumber daya.
Namun, di balik utopia teknologi ini, terdapat risiko kesenjangan digital yang menganga. Implementasi ‘Smart City’ seringkali bias terhadap warga yang melek teknologi dan memiliki akses perangkat serta internet. Bagaimana dengan lansia, warga kurang mampu, atau mereka yang tinggal di kantong-kantong pemukiman padat yang infrastruktur digitalnya minim?
Ada kekhawatiran bahwa fokus pada solusi berbasis aplikasi akan mengabaikan perbaikan fundamental pada layanan offline. Jika semua layanan dipindahkan ke online tanpa alternatif yang setara, warga yang “terputus” secara digital akan semakin terpinggirkan dari layanan publik.
Sebuah ‘Smart City’ yang sejati seharusnya tidak hanya “pintar” secara teknologi, tetapi juga “bijak” secara sosial. Fokusnya harus bergeser dari sekadar adopsi teknologi terbaru menjadi teknologi yang inklusif—memastikan bahwa efisiensi yang diciptakan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir digital native.

